ini adalah sebagian dari serpihan seruan bagi kita sebagai manusia yang tak pernah luput dari salah dan dosa
Pentingnya
Menyambung Silaturahmi
Khutbah Pertama:
إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ
مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ
وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا
اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ
الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ
مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ
بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا
اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ
فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ
اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ
اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Ma’asyiral
muslimin rahimani warahimakumullah
Marilah
kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita
kepada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu
sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab
(anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak
lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari
orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab.
Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki
hubungan rahim atau nasab.
Banyak
cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling
mengunjungi, saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Sambunglah
silaturahmi ini dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah berseri,
memuliakan, dan dengan segala hal yang mudah dikenal manusia dalam menyambung
silaturahmi. Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diperoleh dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Silaturahmi menyebabkan seorang hamba tidak akan putus
hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat.
Disebutkan
dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu
‘anhu:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ
فَقَالَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ
لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ فَأَعَادَهَا الرَجُلُ فَقَالَ النَّبِيُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعْبُدُ اللهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ
الصَلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَكَاةَ وَتَصِلَ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ
النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُهُ بِهِ
دَخَلَ الجَنَّةَ
Bahwasanya
ada seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke
dalam surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi
hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itu pun mengulangi
perkataannya. Setelah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau
beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun menegakkan
shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu
pergi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika dia melaksanakan apa
yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ
فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa
yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan
umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.” (Muttafaqun
‘alaihi).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
الرَحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالعَرْشِ تَقُوْلُ
مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ اللهُ
Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata, ‘Barangsiapa yang
menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barangsiapa yang memutusku,
maka Allah akan memutus hubungan dengannya’. (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyambung silaturahmi
lebih besar pahalanya daripada memerdekakan seorang budak. Dalam Shahih
Bukhari, dari Maimunah Ummul Mukminin, dia berkata,
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي
أَعْتَقْتُ وَلِيْدَتِي قَالَ أَوْ فَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَّا إِنَّكَ
لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكَ كَانَ أَعْظَمُ لِأَجْرِكِ
“Wahai
Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan budakku?” Nabi bertanya,
“Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab, “Ya”. Nabi bersabda,
“Seandainya engkau berikan budak itu kepada paman-pamanmu, maka itu akan lebih
besar pahalanya.”
Ma’syiral
muslimin rahimakumullah,
Yang
amat disayangkan, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau menyambung
silaturahmi dengan kerabatnya, kecuali apabila kerabat itu mau menyambungnya.
Jika demikian maka sebenarnya yang dilakukan orang ini bukanlah silaturahim,
tetapi hanya sebagai balasan. Karena setiap orang yang berakal tentu
berkeinginan untuk membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepadanya,
meskipun dari orang jauh.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الوَاصِلُ
بِالمُكَافِئِ وَلَكِنْ الوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang
yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah
terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang
menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus.” (Muttafaqun
‘alaihi).
Oleh
karena itu, sambunglah hubungan silaturahmi dengan kerabat-kerabat kita,
meskipun mereka memutuskannya. Sungguh, kita akan mendapatkan balasan yang baik
atas mereka.
Diriwayatkan,
telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan berkata,
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لِيْ قَرَابَةً
أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُوْنِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيَسِيْئُوْنَ إِلَيَّ
وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُوْنَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ
فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ المَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيْرٌ
عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai
Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan
tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka
berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka
kasar terhadapku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan
Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikian.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
“Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati
Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.”
(QS. Muhammad: 22-23).
Begitu
pula firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ
اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ
يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ
سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang
yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam).” (QS. Ar-Ra’d: 25)
Dari
Jubair bin Muth’im radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Tidaklah
masuk surga orang yang suka memutus (tali silaturahmi).” (Muttafaqun ‘alaihi).
Memutus
tali silaturahmi yang paling besar yaitu memutus hubungan dengan orang tua,
kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya. Oleh karena
itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ
الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ
وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
Apakah
kalian mau aku beritahu dosa besar yang paling besar?” Beliau menyatakannya
tiga kali. Mereka menjawab: “Mau, wahai Rasulullah”. Maka Beliau bersabda:
“Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikianlah,
betapa beasr dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan
setelah dosa syirik kepada Allah Ta’ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada
kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi
jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Dalam
Shaihain, dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا
الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
Di
antara dosa besar adalah seorang laki-laki mencela kedua orang tuanya.” Para
sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, ‘Apakah (mungkin) seorang laki-laki
mencela orang tuanya? ‘ Beliau menjawab: “Ya. Dia mencela bapak seseorang lalu
orang tersebut (membalas) mencela bapaknya, lalu dia mencela ibunya, lalu orang
tersebut (membalas) mencela ibunya.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ
اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ
الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ
Khutbah Kedua:
اَلحَمْدُ لِلَّهِ وَكَفَى وَالصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ المُصْطَفَى وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ
وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Wahai
hamba Allah, Wahai orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
Bertakwalah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan marilah kita melihat diri kita
masing-masing, sanak keluarga kita. Sudahkah kita menunaikan kewajiban atas
mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita berlemah lembut
terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatakala bertemu dengan mereka?
Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita mencintai, memuliakan,
menghormati, salign mengunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit?
Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar meringankan yang mereka butuhkan?
Ma’syiral
muslimin rahimakumullah,
Ada
sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah
merawatnya kecuali dengan pandangan menghinakan. Dia memuliakan istrinya,
tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati teman-temannya, akan tetapi
menjauhi ayahnya. Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, seolah-olah ia
sedang duduk di atas bara api. Dia merasa berat apabila harus bersama kedua
orang tuanya. Meski hanya sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu
lama. Dia bertutur kata dengan keduanya, dengan rasa berat dan malas. Sungguh
jika bperbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya
kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.
Ada
pula seseorang yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatnya sebagai
keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang
sepantasnya diberikan kepada keluarga. Dia tidak mau bertegur sapa dan
melakukan perbuatan yang bisa menjalin silaturahmi. Begitu pula, ia tidak mau
menggunakan hartanya untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba kecukupan,
sedangkan keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau menyambung
hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu termasuk
orang-orang yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam berusaha,
sedangkan ia mampu menafkahinya, tetapi tetap saja ia tidak mau menafkahinya.
Para
ulama mengatakan, setiap orang yang mempunyai hubungan waris dengan orang lain,
maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada mereka apabila orang lain itu
membutuhkan atau lemah dalam mencari penghasilan, sedangkan ia dalam keadaan
mampu. Yaitu, sebagaimana dilakukan seorang ayah untuk memberikan nafkah.
Barangsiapa yang bakhil, maka ia berdosa dan akan dihisab pada hari kiamat.
Ma’syiral
muslimin rahimakumullah,
Oleh
karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari
memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa
pahala, bagi orang yang menyambung silaturahmi. Atau ia menghadap dengan
membawa dosa, bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon
ampun kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،
إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ
وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ
وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ
هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ.
رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا
وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا
اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَأَقِمِ الصَّلاَةَ.
Sumber:
§
Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M
§
www.khotbahjumat.com
0 Komentar